FOMO Hiking: Gunung Tidak Seperti Mal

FOMO Hiking: Gunung Tidak Seperti Mal

Oleh : Muhammad Taufiq Ulinuha (Ketua Bidang Data dan Informasi LRB-MDMC PWM Jawa Tengah; Instruktur SAR Muhammadiyah)

PWMJATENG.COM – Belakangan ini, fenomena “FOMO hiking” atau rasa takut ketinggalan tren mendaki gunung menjadi sorotan publik. Media sosial dipenuhi unggahan puncak-puncak gunung yang ramai dikunjungi pendaki pemula, lengkap dengan caption yang menggugah seperti “akhirnya sampai juga!” atau “healing di atas awan”. Gunung kini tak ubahnya menjadi objek wisata kekinian, seperti mal di tengah kota yang bisa dikunjungi kapan saja. Padahal, gunung bukan sekadar tempat pelesiran. Ia menyimpan risiko, membutuhkan persiapan matang, dan menuntut tanggung jawab tinggi dari setiap orang yang menginjakkan kaki di lerengnya.

Fenomena ini mencerminkan gejala FOMO (Fear of Missing Out) dalam konteks petualangan alam. Ketika seseorang melihat teman-temannya berhasil mendaki Semeru, Rinjani, atau Prau, muncul dorongan impulsif untuk melakukan hal yang sama—bukan karena kesadaran akan nilai pengalaman itu, melainkan karena takut tertinggal tren atau tidak dianggap “keren”. Sejumlah pendaki bahkan memaksakan diri naik gunung tanpa cukup pengetahuan atau fisik yang memadai. Di sinilah persoalan mulai muncul.

Gunung bukan ruang publik yang bisa dimasuki semaunya. Ia adalah ekosistem alam dengan karakteristik ekstrem: cuaca tak menentu, medan berat, oksigen tipis, serta minim fasilitas darurat. Banyak kasus pendaki tersesat, hipotermia, bahkan meninggal dunia karena mengabaikan aspek keselamatan. Semua itu bukan hal yang bisa dianggap enteng. Ironisnya, beberapa pendaki FOMO justru menganggap mendaki gunung tak lebih dari konten Instagram semata.

Penyediaan jalur pendakian oleh pengelola taman nasional dan komunitas pecinta alam memang mempermudah akses publik. Namun, kemudahan ini bukan berarti menghilangkan kewajiban edukasi. Banyak basecamp gunung sudah memberikan briefing keselamatan, namun sayangnya tidak semua pendaki menyerapnya secara serius. Edukasi melalui media sosial, sekolah, hingga influencer alam bebas perlu digencarkan. Budaya “asal naik” harus diganti dengan budaya “siap naik”.

Baca juga, Kapan Puasa Tasua dan Asyura 2025? Ini Jadwal dan Keutamaannya

Gunung juga bukan tempat pelampiasan ego. Mendaki bukanlah ajang adu kuat, cepat, atau gaya. Esensi dari petualangan ini adalah menyatu dengan alam, belajar tentang keterbatasan diri, dan merayakan keheningan yang tidak bisa ditemukan di pusat perbelanjaan. Ketika gunung diperlakukan seperti mal, nilai spiritualitas dan ekologisnya menjadi kabur. Alam menjadi latar belakang komersial dan ego personal, bukan lagi ruang kontemplasi dan konservasi.

Lebih dari itu, FOMO hiking juga menimbulkan dampak lingkungan. Lonjakan jumlah pendaki seringkali tidak diimbangi dengan kesadaran menjaga kebersihan. Sampah plastik, tisu basah, hingga peralatan bekas kerap ditemukan berserakan di sepanjang jalur pendakian. Beberapa gunung bahkan mengalami degradasi vegetasi akibat injakan kaki yang berlebihan dan tidak terkontrol. Maka, mendaki gunung tanpa etika justru menjadi bentuk perusakan, bukan penghormatan.

Kesadaran kolektif harus dibangun bahwa mendaki gunung adalah aktivitas yang perlu niat, persiapan, dan tanggung jawab. Bukan sekadar untuk eksistensi media sosial. Tidak ada yang salah dengan mengabadikan momen, tapi akan lebih bermakna jika dibarengi dengan kesadaran menjaga keselamatan, etika lingkungan, dan hormat pada kearifan lokal. Gunung adalah guru yang tidak bicara, tapi mengajarkan banyak hal: kesabaran, kerendahan hati, dan solidaritas.

Dalam konteks ini, perlu kiranya kita renungkan ulang motivasi kita mendaki gunung. Apakah karena dorongan dalam diri untuk belajar dari alam? Atau hanya karena takut ketinggalan tren teman-teman? Jika jawabannya adalah yang kedua, sebaiknya urungkan niat dan pertimbangkan ulang. Gunung bukan tempat untuk membuktikan eksistensi sosial, melainkan ruang untuk merendahkan hati dan menemukan kedamaian sejati.

Pemerintah daerah dan pengelola taman nasional juga diharapkan memperketat sistem registrasi dan edukasi. Penerapan kuota pendaki, sistem booking online, hingga sertifikasi dasar pendakian bisa menjadi solusi jangka panjang. Komunitas pecinta alam pun memiliki peran penting dalam menyebarkan nilai-nilai etis dan edukatif tentang mendaki yang bertanggung jawab.

Gunung bukan seperti mal yang bisa dikunjungi setiap akhir pekan tanpa bekal. Ia bukan objek wisata sembarangan, melainkan ruang suci alam yang harus dihormati. Mari jadikan pendakian sebagai perjalanan batin, bukan sekadar ajang gaya hidup. Karena pada akhirnya, pengalaman yang benar-benar membekas bukanlah puncaknya, tetapi proses pendakian yang sarat makna.

Editor : Afifatul Khoirunnisa

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *