LRB/MDMC, Kader Otentik Kiai Dahlan dalam Gerakan “Pitulungan” Kemanusiaan

LRB/MDMC, Kader Otentik Kiai Dahlan dalam Gerakan “Pitulungan” Kemanusiaan

Oleh : Rudi Pramono, S.E. (Ketua MPI PDM Wonosobo)

PWMJATENG.COM – Lebih dari satu abad yang lalu, realitas kemanusiaan menjadi kondisi objektif yang disikapi oleh KH Ahmad Dahlan melalui amaliah sosialnya. Pendiri Muhammadiyah itu tidak hanya membangun madrasah dan rumah sakit, tetapi juga mendirikan panti untuk kaum miskin—sebuah bentuk amal baru yang kala itu belum terpikirkan oleh umat Islam. Saat itu, pelayanan sosial lebih banyak dilakukan oleh kalangan Nasrani dan Belanda.

Kajian terhadap Al-Qur’an yang dilakukan KH Ahmad Dahlan tidak berhenti pada tataran teoritis. Ia mengamalkannya secara transformatif dan inklusif, menjadikannya sebagai penguat gerakan welas asih yang menjadi ciri khas Muhammadiyah hingga kini.

Dalam perkembangannya, paham puritanisme menjadi bagian dari dakwah Muhammadiyah. Citra Muhammadiyah pun kerap diasosiasikan dengan pemurnian akidah, yang justru menjadi magnet bagi banyak umat Islam untuk bergabung dengan gerakan ini.

Kini, generasi pelangsung Muhammadiyah lebih menonjolkan nilai kemajuan sebagai ikon gerakan. Meski membawa implikasi luas, seperti pembiayaan tinggi dan tantangan akses pendidikan bagi kaum dhuafa, semangat awal KH Ahmad Dahlan tetap hidup. Ajaran Islam terus bersentuhan dengan modernitas, dan di situlah pemikiran keislaman terus diuji dan dikembangkan.

Semangat otentik tersebut kini diwujudkan melalui Lembaga Resiliensi Bencana (LRB) atau Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), sebagai pilar kemanusiaan yang menjaga ruh awal perjuangan Muhammadiyah. Mereka berupaya melahirkan “Kyai Dahlan-Kyai Dahlan Muda”—kader-kader penolong dalam penyelamatan kemanusiaan, khususnya dalam konteks kebencanaan.

Baca juga, Indonesia Rumah Kita: Menguatkan Solidaritas di Tengah Krisis Multidimensi

LRB/MDMC serta majelis-majelis sosial kemanusiaan merupakan bentuk metamorfosis dari Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO). Jika dahulu PKO melahirkan rumah sakit dan panti sosial, kini berkembang sesuai kebutuhan zaman, termasuk dalam penanggulangan bencana dan pemberdayaan masyarakat.

Istilah PKO sendiri muncul sekitar tahun 1923 di Yogyakarta. Kala itu, banyak dokter dan suster Belanda yang membantu masyarakat secara sukarela, sehingga mereka dikenal sebagai “dokter toeloeng” (dokter penolong). Dari situlah istilah gerakan pitulungan lahir, bersamaan dengan berdirinya Petronella Ziekenhuis—yang kini dikenal sebagai RS Bethesda.

KH Ahmad Dahlan terinspirasi oleh gerakan pitulungan tersebut, meskipun digerakkan oleh kalangan Nasrani. Ia tidak meniru begitu saja, melainkan memperkuatnya dengan dasar teologis, yakni melalui pemahaman mendalam terhadap surah Al-Māʿūn. Wujud konkret dari tafsir ini adalah pendirian PKU (Penolong Kesengsaraan Umum), yang juga mendapat dukungan dari tokoh seperti dr. Soetomo dan para suster Belanda.

Ide PKO ini kemudian dikukuhkan dalam Muktamar ke-46 Muhammadiyah di Yogyakarta, yang merumuskan PKO sebagai ideologi kemanusiaan bagi seluruh amal usaha Muhammadiyah (AUM) dan majelis di bidang kesehatan, sosial, pemberdayaan masyarakat, serta pengelolaan zakat dan wakaf.

Para kader LRB/MDMC dapat disebut sebagai “Relawan Toeloeng”—penolong dalam bidang kebencanaan yang menjalankan nilai-nilai PKO secara komprehensif. Mereka adalah wujud kontemporer dari semangat pitulungan yang berakar pada cita-cita awal KH Ahmad Dahlan.

“Kyai Dahlan adalah figur yang afeksinya sangat kuat. Al-Qur’an memang diturunkan untuk orang-orang yang berpikir dalam dan mampu menterjemahkan pesan-pesan ilahiah secara lebih mendalam,” ujar Hilman Latief, Bendahara Umum PP Muhammadiyah, sekaligus Anggota PPM yang membidangi Lazismu.

Ass Editor : Ahmad; Editor : M Taufiq Ulinuha

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *