Mengenal Gunung di Jawa: Sindoro, Sundoro, Sendoro, Sindara — Satu Nama, Seribu Cerita Alam dan Budaya

Semarang – Pulau Jawa dikenal sebagai rumah bagi deretan gunung indah yang menjulang megah di antara hamparan sawah dan permukiman penduduk. Dari barat hingga timur, puluhan gunung menjadi saksi sejarah, legenda, dan kehidupan masyarakat di sekitarnya. Di antara gunung-gunung itu, nama “Sindoro” sering mencuri perhatian. Uniknya, gunung ini juga dikenal dengan berbagai sebutan seperti Sundoro, Sendoro, hingga Sindara. Nama-nama ini mengandung kisah panjang, baik dari sisi bahasa, budaya, maupun kepercayaan masyarakat Jawa.

Asal-usul Nama Sindoro dan Variasinya

Gunung Sindoro terletak di perbatasan Kabupaten Wonosobo dan Temanggung, Jawa Tengah. Dengan ketinggian sekitar 3.136 meter di atas permukaan laut, gunung ini berdiri gagah bersebelahan dengan Gunung Sumbing. Kedua gunung tersebut bahkan kerap dijuluki sebagai “duet kembar” karena bentuknya yang mirip jika dilihat dari kejauhan.

Nama “Sindoro” sendiri memiliki beragam versi dalam pelafalan. Masyarakat lokal sering menyebutnya Sundoro atau Sendoro. Dalam naskah-naskah lama, terutama yang menggunakan ejaan Jawa kuno, nama ini kerap ditulis Sindara. Perbedaan ini bukan kesalahan, melainkan bagian dari dinamika bahasa yang berkembang di masyarakat Jawa.

Sejarawan lokal Wonosobo, Supriyadi (2020), menyebutkan bahwa nama Sindoro kemungkinan berasal dari kata “sindura,” yang dalam bahasa Sanskerta berarti “merah tua” atau “warna sinar mentari sore.” Hal ini berkaitan dengan pemandangan khas dari gunung ini saat matahari terbenam, ketika puncaknya memantulkan warna jingga kemerahan yang menawan.

Sindoro dan Sumbing: Gunung Kembar yang Sarat Makna

Gunung Sindoro dan Sumbing sering disebut “Gunung Kembar” karena keduanya berdiri berdampingan, dipisahkan hanya oleh lembah yang subur. Legenda setempat mengisahkan bahwa kedua gunung ini dulunya adalah dua saudara yang berselisih hingga akhirnya berubah menjadi gunung. Cerita rakyat ini menjadi simbol tentang keseimbangan dan dualitas hidup: ketenangan dan amarah, alam dan manusia, bumi dan langit.

Baca juga, Tips Jaga Kesehatan Saat Musim Penghujan Tiba: Hindari Penyakit dengan Langkah Sederhana

Dari sisi geologi, Sindoro merupakan gunung berapi aktif tipe stratovolcano, artinya terbentuk dari lapisan lava dan abu vulkanik hasil letusan berulang. Catatan letusan terakhir terjadi pada 2011, meski dalam skala kecil. Karena aktivitas vulkaniknya, tanah di sekitar Sindoro menjadi sangat subur, menjadikannya sumber penghidupan bagi masyarakat sekitar.

Pesona Alam dan Jalur Pendakian Sindoro

Gunung Sindoro memiliki beberapa jalur pendakian populer, di antaranya via Kledung (Temanggung), Alang-alang Sewu, Sigedang (Wonosobo), dan Bansari. Jalur Kledung dikenal sebagai yang paling ramah bagi pendaki pemula karena medannya tidak terlalu terjal dan memiliki panorama indah. Di sepanjang perjalanan, pendaki disuguhi pemandangan ladang tembakau yang luas, hutan pinus, serta udara pegunungan yang sejuk.

Puncak Sindoro sering disebut “Puncak Mahameru Kecil” karena bentuk kerucutnya yang hampir sempurna. Dari atas ketinggian, pendaki dapat melihat hamparan awan yang mengelilingi Gunung Sumbing, Gunung Merbabu, dan Merapi di kejauhan. Saat cuaca cerah, panorama sunrise dari puncak Sindoro menjadi salah satu yang paling menakjubkan di Jawa Tengah.

Kearifan Lokal dan Tradisi di Lereng Sindoro

Bagi masyarakat di kaki Gunung Sindoro, gunung bukan sekadar tempat wisata, melainkan juga sumber kehidupan dan spiritualitas. Setiap tahun, masyarakat Wonosobo dan Temanggung mengadakan sedekah bumi atau ruwatan gunung sebagai bentuk rasa syukur atas hasil panen dan keselamatan dari bencana alam.

Dalam tradisi tersebut, warga membawa hasil bumi seperti sayur-mayur, padi, dan buah-buahan untuk dilarung di sungai atau ditanam kembali di lereng gunung. Tradisi ini mencerminkan filosofi Jawa “memayu hayuning bawana” — menjaga keseimbangan dan keindahan dunia.

Selain itu, kawasan sekitar Sindoro juga terkenal dengan sumber air panas, air terjun, dan kebun teh yang luas. Semua itu menunjukkan betapa kaya ekosistem di sekitar gunung ini. Tidak sedikit pula wisatawan yang datang bukan untuk mendaki, melainkan menikmati keindahan alamnya dari kaki gunung.

Sindoro dalam Perspektif Modern

Kini, Gunung Sindoro tidak hanya dikenal sebagai destinasi pendakian, tetapi juga sebagai ikon ekowisata berkelanjutan. Pemerintah daerah bersama komunitas pecinta alam aktif mengembangkan konsep wisata yang ramah lingkungan dan berbasis masyarakat. Salah satu contohnya adalah Basecamp Kledung Eco Park, tempat edukasi lingkungan yang juga berfungsi sebagai titik awal pendakian.

Dengan keindahan alam, nilai sejarah, dan tradisi yang melekat, Gunung Sindoro — atau Sundoro, Sendoro, Sindara — menjadi simbol harmoni antara manusia dan alam. Beragam penyebutan namanya justru memperkaya makna budaya di baliknya. Apa pun sebutannya, gunung ini tetap menjadi kebanggaan masyarakat Jawa dan bukti nyata keagungan ciptaan Tuhan yang harus dijaga kelestariannya.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *