Selamatkan Santri, Selamatkan Masa Depan: Wujudkan Pesantren Aman

Selamatkan Santri, Selamatkan Masa Depan: Wujudkan Pesantren Aman

Oleh : Muhammad Taufiq Ulinuha, Dipl., S.Pd. (Kabid Data dan Informasi LRB-MDMC PWM Jawa Tengah, Instruktur SAR Muhammadiyah, & Mahasiswa MPBI UAD)

PWMJATENG.COM – Tragedi ambruknya bagian musala Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo pada akhir September 2025 kembali membuka luka kolektif bangsa: ratusan santri dan keluarga kehilangan tempat berlindung dan nyawa. Peristiwa ini mengingatkan bahwa keselamatan bangunan pendidikan bukan sekadar urusan teknis, melainkan tanggung jawab moral, administratif, dan organisasi. Laporan awal menyebutkan banyak korban jiwa akibat kegagalan struktur yang diduga berhubungan dengan perluasan bangunan tanpa kajian kelayakan yang memadai.

Dari kasus Al Khoziny kita belajar beberapa hal mendasar. Pertama, keselamatan santri tidak boleh dianggap sebagai “takdir” yang tidak dapat diubah; ia harus menjadi prioritas perencanaan dan penganggaran. Para ahli teknik sipil menegaskan bahwa perencanaan struktural, audit berkala, dan perizinan yang jelas adalah langkah awal pencegahan keruntuhan gedung-gedung pendidikan. Kebijakan teknis seperti peta jalan peningkatan mutu dan kelayakan bangunan perlu diprogramkan secara sistemik bersama pemangku kepentingan—pemerintah, ormas, dan masyarakat lokal.

Kedua, organisasi pengelola pesantren—termasuk yang berada di bawah naungan Muhammadiyah—memiliki peran strategis untuk menginternalisasi standar keselamatan dalam tata kelola pendidikan. Muhammadiyah telah menunjukkan respons kelembagaan dengan meluncurkan instrumen penjaminan mutu pesantren yang menekankan mutu pengelolaan, tenaga pendidik, dan proses pembelajaran sebagai bagian dari kesinambungan mutu lembaga pendidikan. Instrumen semacam ini dapat diperluas memuat modul keselamatan bangunan dan manajemen risiko berbasis standar teknis.

Lebih konkret, Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Muhammadiyah sebelumnya mengeluarkan edaran yang menegaskan bahwa keselamatan jiwa warga sekolah/madrasah/pesantren harus menjadi prioritas utama dalam pengambilan kebijakan akademik dan operasional. Prinsip ini harus diterjemahkan menjadi kebijakan internal pesantren: audit bangunan, checklist perizinan, program pelatihan mitigasi bencana, serta prosedur tanggap darurat yang jelas.

Baca juga, Muhammadiyah Umumkan Jadwal Puasa Ramadan 2026, Catat Tanggal Resminya!

Di tingkat wilayah, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur telah merespons dengan langkah pendataan dan kaji kelayakan terhadap bangunan pesantren pascakatastrofe Sidoarjo. Inisiatif seperti pendataan, rekomendasi teknis renovasi, dan penyusunan panduan teknis pembangunan amat penting untuk mencegah kejadian serupa meluas. Model kolaborasi antara ahli teknik, pengurus pesantren, dan pemerintah daerah harus dijadikan praktik standar.

Rekomendasi praktis untuk mewujudkan pesantren aman,

  1. Audit Kelayakan Struktural Berkala — Semua gedung pesantren wajib melakukan inspeksi teknis oleh tenaga ahli tersertifikasi setiap 3–5 tahun dan setelah renovasi besar.
  2. Pendaftaran dan Perizinan yang Transparan — Pesantren harus terdata secara resmi dan memastikan perizinan bangunan sesuai regulasi setempat agar ada pengawasan teknis dari pemerintah.
  3. Panduan Penjaminan Mutu inklusif Keselamatan — Integrasikan modul keselamatan dan manajemen risiko ke dalam instrumen penjaminan mutu pesantren Muhammadiyah.
  4. Pelatihan dan Simulasi — Rutin mengadakan drill evakuasi, pelatihan P3K, serta edukasi keselamatan bagi pengasuh dan santri.
  5. Dana Pemeliharaan dan Renovasi — Susun anggaran khusus untuk pemeliharaan berkala dan renovasi struktural yang tak dapat ditunda.
  6. Kolaborasi Multi-pihak — Bentuk tim teknis antara pesantren, PWM/Pimpinan Pusat Muhammadiyah, pemerintah daerah, dan perguruan tinggi teknik untuk pendampingan teknis.

Teori tata kelola organisasi pendidikan Muhammadiyah—yang menekankan integrasi nilai-nilai Islam berkemajuan dengan manajemen profesional—mendorong agar keselamatan menjadi bagian dari misi kelembagaan, bukan sekadar kegiatan kepatuhan administratif. Keputusan Muktamar dan dokumen-dokumen organisasi menempatkan pendidikan berkualitas dan aman sebagai bagian dari tanggung jawab institusional yang lebih luas; ini harus diimplementasikan hingga level pondok.

Mewujudkan pesantren aman adalah tugas bersama. Kasus Al Khoziny adalah panggilan bangun—bukan hanya untuk memperbaiki satu lokasi, tetapi untuk membangun sistem pencegahan yang tahan lama di seluruh jaringan pesantren. Dengan menempatkan keselamatan sebagai bagian tak terpisahkan dari mutu pendidikan, kita tidak hanya melindungi nyawa santri, melainkan juga mewariskan tradisi pendidikan Islam yang selamat, penuh tanggung jawab, dan beradab bagi generasi mendatang.

Editor : Ahmad

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *